Makalah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang merupakan dasar negara Indonesia mencantumkan Mahkamah Konstitusi pertama kali dalam Amandemen yang ketiga pada tahun 2001 dan pada Amandemen yang keempat pada tahun 2002. Sesuai dengan pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945, kita mengetahui bahwa sebagai sebuah peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) buah kewenangan dan 1 (satu) kewajiban, yaitu :
1. Kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk maksud mengawal dan menjaga konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land) agar benar-benar dijalankan dan ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum modern, dimana hukum menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu negara.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitsi yang pertama, dalam pembangunan hukum nasional masyarakat dapat berpartisipasi dengan mengajukan permohonan pengujian hukum (judicial review, constitusional review) terhadap perundang-undangan yang merugikan hak konstitusionalnya dalam UUD 1945. Pengujian hukum meliputi pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Seperti yang telah kita ketahui, Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan langsung oleh Konstitusi dan jumlah perkaranya paling banyak diantara kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain, yakni dalam kurun waktu 2003 – 2015, tercatat 1363 perkara pengujian Undang-Undang masuk ke Mahkamah Konstitusi, yang mana 858 diantaranya telah diputus. Untuk itu, perlu kiranya untuk mengetahui tata cara pelaksanaan hukum acara khusus Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal dan penjaga Konstitusi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hal yang menjadi alasan diajukannya pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ?
2. Apa dasar hukum dari hukum acara yang digunakan oleh MK dalam menyelenggarakan peradilan?
3. Bagaimana ketentuan hukum acara khusus atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi dari Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya sebagai Pengawal dari Konstitusi khususnya pada pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum acara yang digunakan oleh MK dan bagaimana ketentuan dari hukum acara khusus  atas pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Alasan adanya pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana diketahui salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Dasar ialah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Melalui kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir final konstitusi (the guardian and the final interpreter of the constitution) dan sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), berupaya untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga negara yang terlanggar atau dirugikan akibat berlakunya suatu ketentuan undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yang mana undang-undang tersebut memiliki sifat mengikat umum ketika undang-undang tersebut diundangkan. Putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi penyeimbang antara kepentingan negara yang berpotensi membatasi hak-hak konstitusional warga negara dan menjaga hak konstitusional itu sendiri agar tidak dikurangi, dibatasi, atau bahkan dilanggar.
Ada 4 hal yang menyebabkan timbulnya semangat perlawanan dan keinginan dari publik untuk mengajukan Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu :
Pertama, praktek berpolitik telah menyimpang sedemikian rupa dari ruang-ruang yang patut dihargai dalam praksis bernegara. Ada kepentingan yang ingin dipaksakan secara legal ke dalam undang-undang. Prinsip konstitusionalisme bahkan tergusur oleh kalkulasi kepentingan jangka pendek, baik individu-individu anggota parlemen maupun kelompok, baik yang bersifat murni politik maupun ekonomi, dan akhirnya menjelma menjadi teks hukum. Dalam pembuatan peraturan hukum di parlemen sering terjadi perselingkuhan politik, baik antar anggota dewan sendiri maupun dengan eksekutif. Pembuatan undang-undang memang masuk dalam proses politik, dan para penyusun adalah orang-orang politik dengan kepentingan beragam. Untuk mencapai kesepakatan perlu tawar-menawar dan negosiasi. Tetapi, hal itu tidak berarti aturan yang ada boleh ditabrak.
Kedua, ada keterbatasan dalam menerjemahkan konstitusi ke level peraturan yang lebih rendah, terutama undang-undang. Keterbatasan ini itu bisa dipengaruhi oleh daya jelajah intelektual, pengalaman politik, dominasi pragmatisme atau partisipasi yang hanya sekedar basa-basi dalam praktek legislasi. Apalagi ketika keputusan akhir pengesahan suatu undang-undang ditentukan berdasarkan voting, baik berdasarkan jumlah fraksi maupun berdasarkan one man one vote.
Ketiga, masih tertutupnya pemikiran-pemikiran rasional oleh kegemaran dan kebiasaan DPR yang masih mengedepankan hal-hal yang bersifat simbolik dan melihat ke belakang daripada mengedepankan hal-hal yang besifat substantif dan melihat ke depan bagi kemaslahatan generasi mendatang.
Keempat, kesalahan partai politik dalam melakukan perekrutan kader. Kaderisasi partai tidak berlangsung berdasarkan motif pendalaman nilai-nilai parlementarian melainkan pada prinsip kesempatan politik dan pengumpulan dana partai.[1]
Maka, dari keempat hal diatas kita dapat menyadari bahwa tidak semua materi hukum undang-undang yang dihasilkan itu selalu sempurna sebagaimana karakter dasarnya yang mendistribusikan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi seperti hak asasi, keadilan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu, masyarakat dapat berpartisipasi untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-undang Dasar kepada MK bilamana undang-undang itu dirasa telah merugikan hak konstitusional dan tidak menutup kemungkinan dalam memberikan putusannya MK menjalankan judicial activism dalam membuat putusan-putusannya yang seringkali menimbulkan kritik terbesar datang terutama dari para politisi di DPR yang menilai bahwa kewenangannya dalam membuat undang-undang sering dirampas oleh MK.[2]

B. Dasar hukum dari hukum acara Mahakamah Konstitusi
Dalam menyelenggarakan peradilan MK menggunakan hukum acara umum dan hukum khusus. Hukum acara yang digunakan oleh MK adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), Peraturan Mahkamah Konstitusi, dan dalam praktik, yakni putusan MK.
Dalam UU MK, hukum acara dibagi menjadi 2 bagian yaitu hukum acara yang memuat aturan umum beracara di MK dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK. Kemudian untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, MK diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut undang-undang MK. Adapun pembagian ketentuan hukum acara dalam UU MK adalah Pasal 28 sampai dengan Pasal 49 UU MK memuat ketentuan hukum acara yang bersifat umum untuk seluruh kewenangan MK. Selebihnya merupakan ketentuan hukum tentang acara yang berlaku untuk setiap kewenangan MK, yaitu Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU MK untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU MK untuk memutus pembubaran partai politik, Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU MK untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU MK ketentuan hukum acara tentang kewajiban MK untuk memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai adanya pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[3]

C. Ketentuan hukum acara khusus atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi
Hukum acara khusus yang mengatur prosedur dan hal-hal lain terkait dengan pengujian undang-undang di dalam UU MK meliputi:
a. undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian;
b. pihak yang dapat bertindak dalam permohonan pengujian undang-undang;
c. bentuk pengujian undang-undang;
d. kewajiban MK menyampaikan salinan permohonan kepada institusi/lembaga negara tertentu (terutama lembaga negara pembentuk undang-undang);
e. hak MK meminta keterangan terhadap lembaga negara terkait dengan permohonan;
f. materi putusan, dan
g. akibat putusan pengujian undang-undang dan kewajiban MK setelah putusan.

Di dalam praktik ketentuan tersebut tidak dapat menampung permasalahan-permasalahan yang timbul. Karena itu berdasar Pasal 86 UU MK, MK yang diberikan kewenangan mengatur, telah membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) guna melengkapi hukum acara yang telah ada, yakni dengan PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
1. Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian
Di dalam UUD 1945 tidak terdapat batasan mengenai undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian. Namun di dalam UU MK undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian itu dibatasi hanya undang-undang yang diundangkan setelah terjadinya perubahan UUD 1945. Terhadap ketentuan ini MK dengan putusannya Nomor 004/PUU-I/2004, berpendapat tidak sesuai konstitusi, karena itu MK mengesampingkan. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, dengan adanya permohonan kepada MK untuk menguji pasal tersebut, ketentuan dimaksud dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 50 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri. Sejak putusan MK yang terakhir ini, maka secara efektif tidak terdapat lagi batasan undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian.
2. Pihak yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang.
Ketentuan Pasal 51 UU MK menegaskan bahwa dalam pengujian undang-undang yang dapat bertindak sebagai pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Kerugian konstitusional itu merupakan syarat untuk dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian undangundang (legal standing). Di dalam praktik Mahkamah Konstitusi menetapkan rincian ketentuan dimaksud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknyabersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi;
Tentang yang dimaksud dengan pihak itu siapa, Pasal 51 UU MK tersebut merincinya secara limitatif sbb:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Khusus tentang perorangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tersebut, MK dalam PMK tersebut menambahkan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Dengan adanya ketentuan mengenai syarat-syarat (legal standing) tersebut, maka di dalam permohonannya pemohon mesti menguraikan secara rinci dan jelas tentang kategori atau kualifikasinya sebagai pihak. Misalnya, sebagai perorangan atau kelompok orang, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau sebagai lembaga negara. Setelah itu baru diuraikan tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan, juga harus diuraikan secara jelas.
3. Bentuk Pengujian Undang-Undang
Sebagaimana telah dikenal, pengujian undang-undang itu meliputi pengujian formil dan pengujian materiil. Sejalan dengan itu, maka pemohon wajib menguraikan dengan jelas, apakah yang dimaksudkan dalam permohonan itu permohonan pengujian formal atau permohonan pengujian secara materiil undang-undang terhadap UUD 1945. Permohonan pengujian formil dimaksudkan sebagai bentuk pengujian berkenaan dengan pembentukan undang-undang yang dianggap tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Mengenai hal ini PMK merinci tentang apa yang dimaksud dengan pembentukan itu, yakni meliputi pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan pemberlakuan.Di dalam praktek tentang pemberlakuan ini telah menjadi dasar dalam mengabulkan Perkara Nomor 018/PUU-II/2004 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Sedangkan uraian mengenai permohonan pengujian secara materiil berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Terkait dengan pengujian tersebut diatas, PMK memberikan rumusan terhadap hal-hal yang dimohonkan untuk diputus (petitum) baik dalam permohonan pengujian formal maupun pengujian materiil. Untuk pengujian formal, rumusan hal-hal yang dimohonkan adalah sebagai berikut:
1) mengabulkan permohonan pemohon;
2) menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945;
3) menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
Adapun untuk pengujian materiil, rumusan hal-hal yang dimohonkan adalah sebagai berikut:
1) mengabulkan permohonan pemohon;
2) menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Kewajiban MK menyampaikan salinan permohonan kepada lembaga negara tertentu
Secara administratif permohonan itu dianggap diterima MK apabila telah diregistrasi. Mahkamah Konstitusi yang telah meregistrasi permohonan berkewajiban menyampaikan salinannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai pembantuk undang-undang (legislator) untuk diketahui. Di samping itu, berkewajiban pula untuk memberitahukan dan pemberitahuan dimaksud harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan itu dicatat dalam BRPK. Khusus pemberitahuan kepada Mahkamah Agung disertai pemberitahuan tentang kewajiban Mahkamah Agung untuk menghentikan pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK sampai ada putusan MK.
5. Hak MK untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat kepada Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan/atau Presiden.
Pembentukan undang-undang dilakukan oleh legislator dalam hal ini adalah DPR dan Presiden. Untuk undang-undang tertentu, misalnya yang terkait dengan urusan daerah melibatkan pula DPD, dan juga institusi atau lembaga pemerintahan yang lain. Untuk itu MK berhak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden serta lembaga terkait lainnya. Di dalam praktik, permintaan keterangan dan/atau risalah rapat tersebut dapat juga dimintakan dari menteri/departemen dan/atau satuan organisasi di bawahnya. Untuk DPR misalnya, Mahkamah Konstitusi meminta kepada komisi yang terkait atau bahkan kepada Panitia Khusus RUU.
6. Materi Putusan
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan respon terhadap suatu permohonan sejalan dengan sistematika di dalamnya. Pertama tentang kewenangan MK, kemudian tentang syaratsyarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ketentuan Pasal 51 UU MK dan kemudian tentang pokok permohonan. Tentang kewenangan MK untuk permohonan pengujian undangundang, sebagaimana telah diuraikan di atas semula hanya terhadap undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 yakni setelah tanggal 19 Oktober 1999. Kemudian dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003 tanggal 30 Desember 2003 Pasal 50 tersebut dikesampingkan. Terakhir dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/ PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005, Pasal 50 UU MK tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, MK berwenang untuk menguji setiap undang-undang yang diajukan. Selanjutnya kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang akan diperiksa berdasarkan syarat-syarat dalam Pasal 51 UU MK. Manakala setelah diperiksa ternyata sesuai maka permohonan akan diterima dan oleh karena itu akan dilanjutkan pemeriksaan mengenai pokok perkara.Sekiranya tidak memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 51 UU MK, maka permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke ver klaard).
Terhadap pokok perkara, manakala terbukti secara sah dan hakim meyakininya bahwa permohonan beralasan,maka putusan MK akan mengabulkan permohonan. Muncul tuntutan supaya putusan pengadilan harus dapat diprediksi (predictable). Dapat diprediksinya putusan pengadilan tersebut mengandung beberapa pengertian. Pertama, putusan harus bertolak dari dasar hukum dan dasar teoretis yang benar. Kedua, putusan pengadilan harus konsisten dengan putusan sebelumnya yang sudah benar, sehingga menyimpang atau keluar dari situ akan dipertanyakan.[4]
Dalam hal permohonan itu berupa materi muatan undang-undang (pengujian materil), maka amar putusan MK menyatakan bahwa materi muatan undang-undang yang dimohonkan pengujian itu bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula apabila yang dimohonkan itu tentang pengujian pembentukkannya (pengujian formal), maka amar putusan MK menyatakan bahwa pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945.
Amar putusan yang mengabulkan tersebut diikuti dengan amar putusan yang menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat, Dalam hal permohonan itu mengenai pembentukan undang-undang, maka amar berikutnya menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (untuk seluruhnya). Dalam hal permohonan tidak terbukti dan tidak meyakinkan kepada hakim bahwa permohonan itu beralasan, maka MK menolak permohonan.
7. Hal-hal Terkait dengan Putusan
Putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang harus dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan MK berlaku ke depan (prospektif) artinya sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang yang diajukan permohonan pengujian itu tetap berlaku.
Putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang itu disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden dan MA. Bahkan juga diumumkan kepada masyarakat dengan dimuat di dalam surat kabar dan majalah serta dimuat dalam website MK. www.mahkamahkonstitusi.go.id agar diketahui oleh publik. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang telah dimohonkan pengujian dan ditolak oleh MK, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Kecuali terhadap permohonan yang tidak diterima berdasarkan alasan terkait dengan syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing). Namun demikian PMK memungkinkan pengujian materiil yang ditolak untuk dimohonkan pengujian kembali dengan syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari uraian dalam pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mengawal dan menjaga konstitusi sebagai hukum tertinggi ini memiliki kewenangan yang diberikan langsung oleh Konstitusi sebagaimana tertuang dalam pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Salah satu kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sehingga dalam hal ini masyarakat dapat berpartisipasi dengan mengajukan permohonan pengujian hukum terhadap perundang-undangan yang merugikan hak konstitusionalnya dalam UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Adanya keinginan dan semangat partisipasi dari masyarakat itu tidak serta merta muncul begitu saja. Akan tetapi ada berbagai alasan yang mendorongnya baik karena adanya praktek politik yang menyimpang, keterbatasan dalam menerjemahkan konstitusi ke level peraturan yang lebih rendah terutama undang-undang, masih tertutupnya pemikiran-pemikiran rasional oleh kegemaran dan kebiasaan DPR yang masih mengedepankan hal-hal yang bersifat simbolik, maupun kesalahan partai politik dalam melakukan perekrutan kader. Maka, dalam hal adanya perundang-undangan yang dirasa merugikan hak konstitusional seseorang ini MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final melalui Ketentuan hukum acara khusus atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi yang telah diatur di dalam UU MK.

B. Saran
            Dalam realitasnya dapat kita lihat, bahwa jika semakin banyak putusan dikabulkannya permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-undang dasar berarti hal ini menunjukan jika semakin banyak pula undang-undang atau produk hukum yang dibuat selama ini yang tidak sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Oleh karenanya, tentunya kita tidak ingin produk hukum di Indonesia hanya dijadikan sebagai alat untuk membenarkan keputusan yang diberikan oleh penguasa melainkan kita mengharapkan sesuai dengan nilai- nilai keadilan dan bersinergi dengan keadaan masyarakat. Untuk itu perlu kita sadari bahwa kita, masyarakat Indonesia juga merupakan bagian dari hukum itu sendiri. Sehingga perlu adanya kerjasama antara masyarakat dan pemerintah agar cita-cita luhur bangsa sebagaimana yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud.


Daftar Pustaka

[1] “Perspektif Penegakan Hukum Progresif dalam Judicial Review”,Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3, September 2013.
[2] “ Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni 2016.
[3] “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam Teori dan Praktik”, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 6, Desember 2011.
[4] “Prediktabilitas Ajudikasi  Konstitusional : Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni 2016. Halaman 265.

Posting Komentar

0 Komentar