BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang merupakan dasar negara Indonesia
mencantumkan Mahkamah Konstitusi pertama kali dalam Amandemen yang ketiga pada
tahun 2001 dan pada Amandemen yang keempat pada tahun 2002. Sesuai dengan pasal
24 ayat (1) dan (2) UUD 1945, kita mengetahui bahwa sebagai sebuah peradilan
konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) buah kewenangan dan 1 (satu)
kewajiban, yaitu :
1. Kewenangan mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
2. Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar.
3. Memutus pembubaran partai
politik.
4. Memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
5. Wajib memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Mahkamah
Konstitusi dibentuk untuk maksud mengawal dan menjaga konstitusi sebagai hukum
tertinggi (the supreme law of the land) agar benar-benar dijalankan dan
ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan
prinsip-prinsip negara hukum modern, dimana hukum menjadi faktor penentu bagi
keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu negara.
Berkaitan
dengan kewenangan Mahkamah Konstitsi yang pertama, dalam pembangunan hukum
nasional masyarakat dapat berpartisipasi dengan mengajukan permohonan pengujian
hukum (judicial review, constitusional review) terhadap perundang-undangan yang
merugikan hak konstitusionalnya dalam UUD 1945. Pengujian hukum meliputi
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Seperti
yang telah kita ketahui, Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan langsung oleh
Konstitusi dan jumlah perkaranya paling banyak diantara kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang lain, yakni dalam kurun waktu 2003 – 2015, tercatat 1363 perkara pengujian
Undang-Undang masuk ke Mahkamah Konstitusi, yang mana 858 diantaranya telah
diputus. Untuk
itu, perlu kiranya untuk mengetahui tata cara pelaksanaan hukum acara khusus
Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi
dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal dan penjaga Konstitusi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa saja hal yang menjadi
alasan diajukannya pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ?
2. Apa dasar hukum dari
hukum acara yang digunakan oleh MK dalam menyelenggarakan peradilan?
3. Bagaimana ketentuan hukum
acara khusus atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh
Mahkamah Konstitusi?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui
bagaimana eksistensi dari Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya
sebagai Pengawal dari Konstitusi khususnya pada pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum acara
yang digunakan oleh MK dan bagaimana ketentuan dari hukum acara khusus atas pengujian Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Alasan
adanya pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana
diketahui salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur secara
limitatif dalam Undang-Undang Dasar ialah melakukan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Melalui kewenangan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir
final konstitusi (the guardian and the final interpreter of the constitution)
dan sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the
citizen’s constitutional rights), berupaya untuk menegakkan hak-hak
konstitusional warga negara yang terlanggar atau dirugikan akibat berlakunya
suatu ketentuan undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,
yang mana undang-undang tersebut memiliki sifat mengikat umum ketika
undang-undang tersebut diundangkan. Putusan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar menjadi penyeimbang antara kepentingan negara yang
berpotensi membatasi hak-hak konstitusional warga negara dan menjaga hak
konstitusional itu sendiri agar tidak dikurangi, dibatasi, atau bahkan
dilanggar.
Ada
4 hal yang menyebabkan timbulnya semangat perlawanan dan keinginan dari publik
untuk mengajukan Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu :
Pertama,
praktek berpolitik telah menyimpang sedemikian rupa dari ruang-ruang yang patut
dihargai dalam praksis bernegara. Ada kepentingan yang ingin dipaksakan secara
legal ke dalam undang-undang. Prinsip konstitusionalisme bahkan tergusur oleh
kalkulasi kepentingan jangka pendek, baik individu-individu anggota parlemen
maupun kelompok, baik yang bersifat murni politik maupun ekonomi, dan akhirnya
menjelma menjadi teks hukum. Dalam pembuatan peraturan hukum di parlemen sering
terjadi perselingkuhan politik, baik antar anggota dewan sendiri maupun dengan
eksekutif. Pembuatan undang-undang memang masuk dalam proses politik, dan para
penyusun adalah orang-orang politik dengan kepentingan beragam. Untuk mencapai
kesepakatan perlu tawar-menawar dan negosiasi. Tetapi, hal itu tidak berarti
aturan yang ada boleh ditabrak.
Kedua,
ada keterbatasan dalam menerjemahkan konstitusi ke level peraturan yang lebih
rendah, terutama undang-undang. Keterbatasan ini itu bisa dipengaruhi oleh daya
jelajah intelektual, pengalaman politik, dominasi pragmatisme atau partisipasi
yang hanya sekedar basa-basi dalam praktek legislasi. Apalagi ketika keputusan
akhir pengesahan suatu undang-undang ditentukan berdasarkan voting, baik
berdasarkan jumlah fraksi maupun berdasarkan one man one vote.
Ketiga,
masih tertutupnya pemikiran-pemikiran rasional oleh kegemaran dan kebiasaan DPR
yang masih mengedepankan hal-hal yang bersifat simbolik dan melihat ke belakang
daripada mengedepankan hal-hal yang besifat substantif dan melihat ke depan
bagi kemaslahatan generasi mendatang.
Keempat,
kesalahan partai politik dalam melakukan perekrutan kader. Kaderisasi partai
tidak berlangsung berdasarkan motif pendalaman nilai-nilai parlementarian
melainkan pada prinsip kesempatan politik dan pengumpulan dana partai.[1]
Maka,
dari keempat hal diatas kita dapat menyadari bahwa tidak semua materi hukum
undang-undang yang dihasilkan itu selalu sempurna sebagaimana karakter dasarnya
yang mendistribusikan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi seperti hak
asasi, keadilan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu, masyarakat dapat
berpartisipasi untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar kepada MK bilamana undang-undang itu dirasa telah merugikan
hak konstitusional dan tidak menutup kemungkinan dalam memberikan putusannya MK
menjalankan judicial activism dalam membuat putusan-putusannya yang seringkali
menimbulkan kritik terbesar datang terutama dari para politisi di DPR yang
menilai bahwa kewenangannya dalam membuat undang-undang sering dirampas oleh
MK.[2]
B. Dasar
hukum dari hukum acara Mahakamah Konstitusi
Dalam
menyelenggarakan peradilan MK menggunakan hukum acara umum dan hukum khusus.
Hukum acara yang digunakan oleh MK adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), Peraturan
Mahkamah Konstitusi, dan dalam praktik, yakni putusan MK.
Dalam
UU MK, hukum acara dibagi menjadi 2 bagian yaitu hukum acara yang memuat aturan
umum beracara di MK dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing
perkara yang menjadi kewenangan MK. Kemudian untuk kelancaran pelaksanaan tugas
dan wewenangnya, MK diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut
undang-undang MK. Adapun pembagian ketentuan hukum acara dalam UU MK adalah
Pasal 28 sampai dengan Pasal 49 UU MK memuat ketentuan hukum acara yang
bersifat umum untuk seluruh kewenangan MK. Selebihnya merupakan ketentuan hukum
tentang acara yang berlaku untuk setiap kewenangan MK, yaitu Pasal 50 sampai
dengan Pasal 60 UU MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Pasal 61
sampai dengan Pasal 67 UU MK untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU
MK untuk memutus pembubaran partai politik, Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU
MK untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan Pasal 80 sampai
dengan Pasal 85 UU MK ketentuan hukum acara tentang kewajiban MK untuk memutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai adanya pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden.[3]
C. Ketentuan
hukum acara khusus atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
oleh Mahkamah Konstitusi
Hukum
acara khusus yang mengatur prosedur dan hal-hal lain terkait dengan pengujian
undang-undang di dalam UU MK meliputi:
a.
undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian;
b.
pihak yang dapat bertindak dalam permohonan pengujian undang-undang;
c.
bentuk pengujian undang-undang;
d.
kewajiban MK menyampaikan salinan permohonan kepada institusi/lembaga negara tertentu (terutama
lembaga negara pembentuk
undang-undang);
e.
hak MK meminta keterangan terhadap lembaga negara terkait dengan permohonan;
f.
materi putusan, dan
g.
akibat putusan pengujian undang-undang dan kewajiban MK setelah putusan.
Di
dalam praktik ketentuan tersebut tidak dapat menampung
permasalahan-permasalahan yang timbul. Karena itu berdasar Pasal 86 UU MK, MK
yang diberikan kewenangan mengatur, telah membentuk Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) guna melengkapi hukum acara yang telah ada, yakni dengan PMK
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
1. Undang-undang
yang dapat dimohonkan pengujian
Di
dalam UUD 1945 tidak terdapat batasan mengenai undang-undang yang dapat
dimohonkan pengujian. Namun di dalam UU MK undang-undang yang dapat dimohonkan
pengujian itu dibatasi hanya undang-undang yang diundangkan setelah terjadinya
perubahan UUD 1945. Terhadap ketentuan ini MK dengan putusannya Nomor
004/PUU-I/2004, berpendapat tidak sesuai konstitusi, karena itu MK
mengesampingkan. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, dengan adanya
permohonan kepada MK untuk menguji pasal tersebut, ketentuan dimaksud
dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melalui putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 066/PUU-II/2004 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal
50 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang
Kamar Dagang dan Industri. Sejak putusan MK yang terakhir ini, maka secara
efektif tidak terdapat lagi batasan undang-undang yang dapat dimohonkan
pengujian.
2. Pihak
yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam permohonan pengujian
undang-undang.
Ketentuan
Pasal 51 UU MK menegaskan bahwa dalam pengujian undang-undang yang dapat
bertindak sebagai pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Kerugian
konstitusional itu merupakan syarat untuk dapat bertindak sebagai pemohon dalam
pengujian undangundang (legal standing). Di dalam praktik Mahkamah Konstitusi
menetapkan rincian ketentuan dimaksud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a.
adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;
b.
bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan
oleh suatu undang-undang yang diuji;
c.
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknyabersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.
adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji;
e.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi;
Tentang
yang dimaksud dengan pihak itu siapa, Pasal 51 UU MK tersebut merincinya
secara limitatif sbb:
a.
perorangan warga negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara.
Khusus
tentang perorangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tersebut, MK dalam PMK
tersebut menambahkan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama. Dengan adanya ketentuan mengenai syarat-syarat (legal standing) tersebut,
maka di dalam permohonannya pemohon mesti menguraikan secara rinci dan jelas
tentang kategori atau kualifikasinya sebagai pihak. Misalnya, sebagai
perorangan atau kelompok orang, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum
publik atau privat, atau sebagai lembaga negara. Setelah itu baru diuraikan
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan, juga harus
diuraikan secara jelas.
3. Bentuk Pengujian
Undang-Undang
Sebagaimana
telah dikenal, pengujian undang-undang itu meliputi pengujian formil dan
pengujian materiil. Sejalan dengan itu, maka pemohon wajib menguraikan dengan
jelas, apakah yang dimaksudkan dalam permohonan itu permohonan pengujian formal
atau permohonan pengujian secara materiil undang-undang terhadap UUD 1945.
Permohonan pengujian formil dimaksudkan sebagai bentuk pengujian berkenaan
dengan pembentukan undang-undang yang dianggap tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945. Mengenai hal ini PMK merinci tentang apa yang dimaksud
dengan pembentukan itu, yakni meliputi pembahasan, pengesahan, pengundangan,
dan pemberlakuan.Di dalam praktek tentang pemberlakuan ini telah menjadi dasar
dalam mengabulkan Perkara Nomor 018/PUU-II/2004 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000
tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Sedangkan uraian mengenai
permohonan pengujian secara materiil berkenaan dengan materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD
1945. Terkait dengan pengujian tersebut diatas, PMK memberikan rumusan terhadap
hal-hal yang dimohonkan untuk diputus (petitum) baik dalam permohonan pengujian
formal maupun pengujian materiil. Untuk pengujian formal, rumusan hal-hal yang
dimohonkan adalah sebagai berikut:
1)
mengabulkan permohonan pemohon;
2)
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan
UUD 1945;
3)
menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
Adapun
untuk pengujian materiil, rumusan hal-hal yang dimohonkan adalah sebagai
berikut:
1)
mengabulkan permohonan pemohon;
2)
menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang
dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
4. Kewajiban MK
menyampaikan salinan permohonan kepada lembaga negara tertentu
Secara
administratif permohonan itu dianggap diterima MK apabila telah diregistrasi.
Mahkamah Konstitusi yang telah meregistrasi permohonan berkewajiban
menyampaikan salinannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai
pembantuk undang-undang (legislator) untuk diketahui. Di samping itu,
berkewajiban pula untuk memberitahukan dan pemberitahuan dimaksud harus
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permohonan itu dicatat dalam BRPK. Khusus pemberitahuan kepada Mahkamah Agung
disertai pemberitahuan tentang kewajiban Mahkamah Agung untuk menghentikan pengujian
peraturan perundangundangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan
apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang
dalam proses pengujian di MK sampai ada putusan MK.
5. Hak MK untuk meminta
keterangan dan/atau risalah rapat kepada Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan/atau Presiden.
Pembentukan
undang-undang dilakukan oleh legislator dalam hal ini adalah DPR dan Presiden.
Untuk undang-undang tertentu, misalnya yang terkait dengan urusan daerah
melibatkan pula DPD, dan juga institusi atau lembaga pemerintahan yang lain.
Untuk itu MK berhak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan
dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden
serta lembaga terkait lainnya. Di dalam praktik, permintaan keterangan dan/atau
risalah rapat tersebut dapat juga dimintakan dari menteri/departemen dan/atau
satuan organisasi di bawahnya. Untuk DPR misalnya, Mahkamah Konstitusi meminta
kepada komisi yang terkait atau bahkan kepada Panitia Khusus RUU.
6. Materi Putusan
Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan respon terhadap suatu permohonan sejalan dengan
sistematika di dalamnya. Pertama tentang kewenangan MK, kemudian tentang
syaratsyarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ketentuan Pasal 51 UU
MK dan kemudian tentang pokok permohonan. Tentang kewenangan MK untuk
permohonan pengujian undangundang, sebagaimana telah diuraikan di atas semula
hanya terhadap undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 yakni
setelah tanggal 19 Oktober 1999. Kemudian dengan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 004/PUU-I/2003 tanggal 30 Desember 2003 Pasal 50 tersebut dikesampingkan.
Terakhir dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/ PUU-II/2004 tanggal 12
April 2005, Pasal 50 UU MK tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
oleh karena itu
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, MK
berwenang untuk menguji setiap undang-undang yang diajukan. Selanjutnya kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon yang akan diperiksa berdasarkan syarat-syarat
dalam Pasal 51 UU MK. Manakala setelah diperiksa ternyata sesuai maka
permohonan akan diterima dan oleh karena itu akan dilanjutkan pemeriksaan
mengenai pokok perkara.Sekiranya tidak memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 51 UU
MK, maka permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke ver klaard).
Terhadap
pokok perkara, manakala terbukti secara sah dan hakim meyakininya bahwa
permohonan beralasan,maka putusan MK akan mengabulkan permohonan. Muncul
tuntutan supaya putusan pengadilan harus dapat diprediksi (predictable). Dapat
diprediksinya putusan pengadilan tersebut mengandung beberapa pengertian.
Pertama, putusan harus bertolak dari dasar hukum dan dasar teoretis yang benar.
Kedua, putusan pengadilan harus konsisten dengan putusan sebelumnya yang sudah
benar, sehingga menyimpang atau keluar dari situ akan dipertanyakan.[4]
Dalam
hal permohonan itu berupa materi muatan undang-undang (pengujian materil), maka
amar putusan MK menyatakan bahwa materi muatan undang-undang yang dimohonkan
pengujian itu bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula apabila yang
dimohonkan itu tentang pengujian pembentukkannya (pengujian formal), maka amar
putusan MK menyatakan bahwa pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945.
Amar
putusan yang mengabulkan tersebut diikuti dengan amar putusan yang menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan mengikat, Dalam hal permohonan itu mengenai pembentukan
undang-undang, maka amar berikutnya menyatakan bahwa undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (untuk seluruhnya). Dalam hal
permohonan tidak terbukti dan tidak meyakinkan kepada hakim bahwa permohonan
itu beralasan, maka MK menolak permohonan.
7.
Hal-hal Terkait dengan Putusan
Putusan
MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang harus dimuat dalam
Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan MK
berlaku ke depan (prospektif) artinya sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang yang
diajukan permohonan pengujian itu tetap berlaku.
Putusan
MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang itu disampaikan kepada
DPR, DPD, Presiden dan MA. Bahkan juga diumumkan kepada masyarakat dengan
dimuat di dalam surat kabar dan majalah serta dimuat dalam website MK.
www.mahkamahkonstitusi.go.id agar diketahui oleh publik. Terhadap materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang telah dimohonkan pengujian
dan ditolak oleh MK, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Kecuali terhadap
permohonan yang tidak diterima berdasarkan alasan terkait dengan syarat-syarat
kedudukan hukum (legal standing). Namun demikian PMK memungkinkan pengujian materiil
yang ditolak untuk dimohonkan pengujian kembali dengan syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dalam pembahasan pada
bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga yang mengawal dan menjaga konstitusi sebagai hukum tertinggi ini
memiliki kewenangan yang diberikan langsung oleh Konstitusi sebagaimana
tertuang dalam pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Salah satu kewenangannya
adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sehingga dalam hal
ini masyarakat dapat berpartisipasi dengan mengajukan permohonan pengujian
hukum terhadap perundang-undangan yang merugikan hak konstitusionalnya dalam
UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Adanya keinginan dan semangat partisipasi
dari masyarakat itu tidak serta merta muncul begitu saja. Akan tetapi ada
berbagai alasan yang mendorongnya baik karena adanya praktek politik yang
menyimpang, keterbatasan dalam menerjemahkan konstitusi ke level peraturan yang
lebih rendah terutama undang-undang, masih tertutupnya pemikiran-pemikiran
rasional oleh kegemaran dan kebiasaan DPR yang masih mengedepankan hal-hal yang
bersifat simbolik, maupun kesalahan partai politik dalam melakukan perekrutan
kader. Maka, dalam hal adanya perundang-undangan yang dirasa merugikan hak
konstitusional seseorang ini MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final melalui Ketentuan hukum acara khusus
atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah
Konstitusi yang telah diatur di dalam UU MK.
B.
Saran
Dalam realitasnya dapat kita lihat,
bahwa jika semakin banyak putusan dikabulkannya permohonan pengujian
undang-undang terhadap Undang-undang dasar berarti hal ini menunjukan jika
semakin banyak pula undang-undang atau produk hukum yang dibuat selama ini yang
tidak sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Oleh karenanya,
tentunya kita tidak ingin produk hukum di Indonesia hanya dijadikan sebagai
alat untuk membenarkan keputusan yang diberikan oleh penguasa melainkan kita
mengharapkan sesuai dengan nilai- nilai keadilan dan bersinergi dengan keadaan
masyarakat. Untuk itu perlu kita sadari bahwa kita, masyarakat Indonesia juga
merupakan bagian dari hukum itu sendiri. Sehingga perlu adanya kerjasama antara
masyarakat dan pemerintah agar cita-cita luhur bangsa sebagaimana yang tertuang
di dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud.
Daftar Pustaka
[1] “Perspektif Penegakan
Hukum Progresif dalam Judicial Review”,Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3,
September 2013.
[2] “ Dimensi Judicial
Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 13,
Nomor 2, Juni 2016.
[3] “Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi dalam Teori dan Praktik”, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 6,
Desember 2011.
[4] “Prediktabilitas
Ajudikasi Konstitusional : Mahkamah
Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2,
Juni 2016. Halaman 265.
0 Komentar