Hari ini 14 tahun yang lalu tepatnya tanggal 15 Agustus 2005, Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai setelah
berkonflik selama 29 tahun (1976-2005). Terdapat berbagai penyebab terjadinya
konflik yang panjang ini, diantaranya mengenai latar belakang sejarah Aceh
sebagai bangsa yang berdiri sendiri, perlakuan pusat yang kurang baik kepada
Aceh dan keistimewaan Aceh yang tidak mampu diakomodir oleh pusat.
Konflik antara GAM dan Militer Indonesia telah menimbulkan kerugian korban
nyawa mencapai puluhan ribu korban jiwa yang meninggal, selain dari korban
nyawa tersebut terdapat pula penderitaan yang dirasakan masyarakat. Tidak
jarang kita mendengar adanya korban pemerkosaan, penganiayaan dan perampasan harta
terhadap masyarakat sipil.
Perjanjian perdamaian antara Aceh dan Indonesia tersebut biasa disebut MoU
Helsinki (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka). Isi perjanjian damai tersebut mengenai penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh, hak asasi manusia, amnesti dan reintegrasi dalam
masyarakat, pengaturan keamanan, misi monitoring Aceh serta penyelesaian
perselisihan.
Penyelenggaraan pemerintahan di Aceh dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor
11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasca berlakunya undang-undang
tersebut, Aceh mulai membangun diri dari berbagai aspek. Pembangunan Aceh secara
bertahap berjalan baik. Aceh juga pasca Tsunami yang memporak-porandakan
beberapa wilayah, kini tidak tampak lagi seolah tidak pernah terjadi Tsunami
yang dahsyat.
Kini Aceh semakin menunjukkan pembangunan diberbagai keperluan, hal
tersebut dapat dilihat dengan adanya dana otonomi khusus, kemudian diselenggarakannya
pemilu, partai politik lokal didirikan, beberapa qanun dibentuk, penegakan
syariat islam dijalankan, pelestarian adat, pembentukan lembaga keistimewaan
dan lain sebagainya.
Bila melihat secara mendasar, Aceh benar-benar telah berada pada
keistimewaan dan spesial dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia.
Maka, menjadi suatu kewajaran bila daerah lain merasa iri juga ingin istimewa
dan spesial seperti Aceh. Tentunya, bila membahas keistimewaan dan spesial
Aceh, kita tidak bisa melupakan sejarah panjang bangsa Aceh yang menjadikannya
istimewa dan spesial tersebut.
Setelah jalan panjang sejarah Aceh tersebut tentu kita harus siap menerima
konsekuensi dan realita yang berlaku sekarang. Selain dari masih masalah
kemiskinan, masih terdapatnya beberapa polemik terhadap keistimewaan dan
kekhususan Aceh sering menjadi perdebatan dan pembahasan yang panjang. Kita
ingat bagaimana polemik pencabutan pasal dalam UUPA terkait Pemilu, polemik
penegakan syariat islam di Aceh, polemik qanun poligami, polemik hymne dan
bendera Aceh serta hal lainnya.
Aceh seharusnya lebih optimis dengan keistimewaan dan kekhususannya, lebih
berani menatap masa depan, punya cita-cita, usaha yang sangat tinggi, berani
dan tegas. Kita menginginkan Aceh di masa depan bukan lagi penuh dengan persoalan,
melainkan penuh dengan optimis dan keberlangsungan kehidupan yang mandiri.
Aceh dengan syariat islam dan adat nya juga harus sadar serta bertanggung
jawab penuh dilaksanakan dan diterima dalam lapisan kehidupan berbangsa dan bernegara
secara merata. Terimplementasi dalam aspek pemerintahan, politik, ekonomi,
sosial, budaya dan pariwisata.
Kemudian, akan menjadi menarik bila Aceh mempunyai bendera, lambang dan
hymne nya sendiri. Bendera tersebut kemudian berkibar di depan kantor-kantor
Pemerintahan Aceh, lambang dipajang di ruang pemerintahan, hymne diperdengarkan
di acara perayaan-perayaan. Sebelum itu, Aceh harus secara konsisten sepakat
dan memperjuangkan bentuk bendera, lambang dan hymne tersebut.
Selain itu, Aceh juga bisa mengusahakan didirikan federasi sepak bola Aceh
yang kemudian didaftarkan di FIFA terpisah dari PSSI, guna untuk memberi warna
sepak bola regional maupun internasional.
Selain itu, Aceh juga harus berani mencoba mengajukan hari Jum’at sebagai
hari libur di Aceh dengan pertimbangan efektivitas kerja dengan ibadah, namun
harus tetap mampu bersinergi dengan jalannya birokrasi dan administrasi pusat,
mengingat hari kerja nasional yang notabene libur pada hari Minggu.
Selain hal tersebut, masih banyak harus berani dicita-citakan dan diusahakan
Aceh di masa mendatang. Aceh di masa depan harus mampu lepas dengan identik
‘perang dan polemik’ nya. Aceh di masa depan diharapkan sebagai Aceh yang
mandiri, damai dan menjadi teladan baik bagi daerah lain di Indonesia. Semuanya
itu bukan suatu kemustahilan dengan adanya keistimewaan dan kekhususan yang
ada.
0 Komentar